Senin, 17 Maret 2014
Kedudukan Shalat Dalam Islam
Oleh:
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Shalat wajib ada lima: Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib, ‘Isya', dan Shubuh. Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Pada malam Isra' (ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dinaikkan ke langit) diwajibkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat lima puluh waktu. Lalu dikurangi hingga menjadi lima waktu.
Kemudian beliau diseru, 'Hai Muhammad, sesungguhnya keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah. Dan sesungguhnya bagimu (pahala) lima ini seperti (pahala) lima puluh'.”[1]
Dari Thalhah bin 'Ubaidillah Radhiyallahu anhu, ia menceritakan bahwa pernah seorang Arab Badui berambut acak-acakan mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, "Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku shalat apa yang diwajibkan Allah atasku." Beliau menjawab:
ﺍَﻟﺼَّﻠَﻮَﺍﺕُ ﺍﻟْﺨَﻤْﺲُ ﺇِﻻَّ ﺃَﻥْ ﺗَﻄَﻮَّﻉَ ﺷَﻴْﺌًﺎ .
Artinya:
"Shalat lima waktu, kecuali jika engkau ingin menambah sesuatu (dari shalat sunnah)." [2]
Kedudukan Shalat Dalam Islam
Dari 'Abdullah bin 'Umar Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ﺑُﻨِﻲَ ﺍْﻹِﺳْـﻼَﻡُ ﻋَﻠَﻰ ﺧَﻤْﺲٍ، ﺷَﻬَﺎﺩَﺓِ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ ﺍﻟﻠﻪُ ﻭَﺃَﻥَّ ﻣُﺤَﻤَّﺪًﺍ
ﻋَﺒْﺪُﻩُ ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟُﻪُ، ﻭَﺇِﻗَﺎﻡِ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓِ، ﻭَﺇِﻳْﺘَﺎﺀِ ﺍﻟﺰَّﻛَﺎﺓِ ﻭَﺣَﺞِّ ﺍﻟْﺒَﻴْﺖِ،ﻭَﺻَﻮْﻡِ
ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ.
Artinya:
"Islam dibangun atas lima (perkara): kesaksian bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, haji ke baitullah, dan puasa Ramadhan." [3]
A. Hukum Orang Yang Meninggalkan Shalat
Seluruh ummat Islam sepakat bahwa orang yang mengingkari wajibnya shalat, maka dia kafir dan keluar dari Islam. Tetapi mereka berselisih tentang orang yang meninggalkan shalat dengan tetap meyakini kewajiban hukumnya. Sebab perselisihan mereka adalah adanya sejumlah hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menamakan orang yang meninggalkan shalat sebagai orang kafir, tanpa membedakan antara orang yang mengingkari dan yang bermalas-malasan mengerjakannya.
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ﺇِﻥَّ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞِ ﻭَﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟﺸِّﺮْﻙِ ﻭَﺍﻟْﻜُﻔْﺮِ ﺗَﺮْﻙُ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓِ .
Artinya:
“Sesungguhnya (batas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” [4]
Dari Buraidah, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ﺍَﻟْﻌَﻬْﺪُ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﺑَﻴْﻨَﻨَﺎ ﻭَﺑَﻴْﻨَﻬُﻢُ ﺍﻟﺼَّﻼَﺕُ، ﻓَﻤَﻦْ ﺗَﺮَﻛَﻬَﺎ ﻓَﻘَﺪْ ﻛَﻔَﺮَ .
Artinya:
‘Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya, maka ia telah kafir.’” [5]
Namun yang rajih dari pendapat-pendapat para ulama', bahwa yang dimaksud dengan kufur di sini adalah kufur kecil yang tidak mengeluarkan dari agama. Ini adalah hasil kompromi antara hadits-hadits tersebut dengan beberapa hadits lain, di antaranya: Dari ‘Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ﺧَﻤْﺲُ ﺻَﻠَﻮَﺍﺕٍ ﻛَﺘَﺒَﻬُﻦَّ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻌِﺒَـﺎﺩِ، ﻣَﻦْ ﺃَﺗَﻰ ﺑِﻬِﻦَّ ﻟَﻢْ ﻳُﻀِﻴْﻊَ
ﻣِﻨْﻬُﻦَّ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﺍِﺳْﺘِﺨْﻔَﺎﻓًﺎ ﺑِﺤَﻘِّﻬِﻦَّ ﻛَـﺎﻥَ ﻟَﻪُ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻠﻪِ ﻋَﻬْﺪٌ ﺃَﻥْ ﻳُﺪْﺧِﻠَﻪُ
ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ، ﻭَﻣَﻦْ ﻟَﻢْ ﻳَﺄْﺕِ ﺑِﻬِﻦَّ ﻓَﻠَﻴْﺲَ ﻟَﻪُ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻠﻪِ ﻋَﻬْﺪٌ، ﺇِﻥْ ﺷَﺎﺀَ ﻋَﺬَّﺑَﻪُ ﻭَﺇِﻥْ
ﺷَﺎﺀَ ﻏَﻔَﺮَ ﻟَﻪُ .
Artinya:
‘Lima shalat diwajibkan Allah atas para hamba. Barangsiapa mengerjakannya dan tidak menyia-nyiakannya sedikit pun karena menganggap enteng, maka dia memiliki perjanjian de-ngan Allah untuk memasukkannya ke Surga. Dan barangsiapa tidak mengerjakannya, maka dia tidak memiliki perjanjian dengan Allah. Jika Dia berkehendak, maka Dia mengadzabnya. Atau jika Dia berkehendak, maka Dia mengampuninya.’”[6]
Kita menyimpulkan bahwa hukum meninggalkan shalat masih di bawah derajat kekufuran dan kesyirikan. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyerahkan perkara orang yang tidak mengerjakannya kepada kehendak Allah. Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻟَﺎ ﻳَﻐْﻔِﺮُ ﺃَﻥ ﻳُﺸْﺮَﻙَ ﺑِﻪِ ﻭَﻳَﻐْﻔِﺮُ ﻣَﺎ ﺩُﻭﻥَ ﺫَٰﻟِﻚَ ﻟِﻤَﻦ ﻳَﺸَﺎﺀُ ۚ ﻭَﻣَﻦ
ﻳُﺸْﺮِﻙْ ﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ ﻓَﻘَﺪِ ﺍﻓْﺘَﺮَﻯٰ ﺇِﺛْﻤًﺎ ﻋَﻈِﻴﻤًﺎ
Artinya:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [An-Nisaa’: 48]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya yang pertama kali dihisab dari seorang hamba yang muslim pada hari Kiamat adalah shalat wajib. Jika dia mengerjakannya dengan sempurna (maka ia selamat). Jika tidak, maka dikatakan: Lihatlah, apakah dia memiliki shalat sunnah? Jika dia memiliki shalat sunnah maka shalat wajibnya disempurnakan oleh shalat sunnah tadi. Kemudian seluruh amalan wajibnya dihisab seperti halnya shalat tadi.’” [7]
Dari Hudzaifah bin al-Yaman, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Islam akan lenyap sebagaimana lenyapnya warna pada baju yang luntur. Hingga tidak lagi diketahui apa itu puasa, shalat, qurban, dan shadaqah. Kitabullah akan diangkat dalam satu malam, hingga tidak tersisalah satu ayat pun di bumi. Tinggallah segolongan manusia yang terdiri dari orang tua dan renta. Mereka berkata, 'Kami dapati bapak-bapak kami mengucapkan kalimat: Laa ilaaha illallaah dan kami pun mengucapkannya.’” Shilah berkata kepadanya, “Bukankah kalimat laa ilaaha illallaah tidak bermanfaat untuk mereka, jika mereka tidak tahu apa itu shalat, puasa, qurban, dan shadaqah?” Lalu Hudzaifah berpaling darinya. Shilah mengulangi pertanyaannya tiga kali. Setiap kali itu pula Hudzaifah berpaling darinya. Pada kali yang ketiga, Hudzaifah menoleh dan berkata, “Wahai Shilah, kalimat itulah yang akan menyelamatkan mereka dari Neraka. Dia mengulanginya tiga kali.” [8]
B. Kepada Siapa Diwajibkan?
Shalat itu diwajibkan kepada setiap muslim yang telah baligh dan berakal Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
ﺭُﻓِﻊَ ﺍﻟْﻘَﻠَﻢُ ﻋَﻦْ ﺛَﻼَﺛَﺔٍ: ﻋَﻦِ ﺍﻟﻨَّﺎﺋِﻢِ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺴْﺘَﻴْﻘِﻆَ، ﻭَﻋَﻦِ ﺍﻟﺼَّﺒِﻲِّ ﺣَﺘَّﻰ
ﻳَﺤْﺘَﻠِﻢَ، ﻭَﻋَﻦِ ﺍﻟْﻤَﺠْﻨُﻮْﻥِ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﻌْﻘِﻞَ .
Artinya:
“Pena (pencatat amal) diangkat dari tiga orang: dari orang yang tidur hingga terbangun, dari anak-anak hingga baligh, dan dari orang gila hingga kembali sadar.” [9]
Wajib atas orang tua untuk menyuruh anaknya mengerjakan shalat meskipun shalat tadi belum diwajibkan atasnya, agar ia terbiasa untuk mengerjakan shalat. Dari 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ﻣُﺮُﻭْﺍ ﺃَﻭْﻻَﺩَﻛُﻢْ ﺑِﺎﻟﺼَّﻼَﺓِ ﻭَﻫُﻢْ ﺃَﺑْﻨَـﺎﺀُ ﺳَﺒْﻊَ ﺳِﻨِﻴْﻦَ، ﻭَﺍﺿْﺮِﺑُﻮْﻫُﻢْ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﻭَﻫُﻢْ
ﺃَﺑْﻨَﺎﺀُ ﻋَﺸْﺮَ ﺳِﻨِﻴْﻦَ، ﻭَﻓَﺮِّﻗُﻮْﺍ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤَﻀَﺎﺟِﻊِ .
Artinya:
“Perintahkan anak-anak kalian untuk shalat pada usia tujuh tahun. Dan pukullah mereka karena meninggalkannya pada usia sepuluh tahun. Serta pisahkanlah ranjang mereka.” [10]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah
wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul
Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia
Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team
Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka
Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan
1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq 'alaihi: [Sunan at-Tirmidzi
(I/137 no. 213)], secara ringkas. Dan
diriwayatkan secara panjang dalam Shahiih
al-Bukhari (Fat-hul Baari) (VII/201 no. 3887),
Shahiih Muslim (I/145 no. 259), serta Sunan
an-Nasa-i (I/217).
[2]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-
hul Baari) (I/106 no. 46)], Shahiih Muslim
(I/40 no. 11), Sunan Abi Dawud (‘Aunul
Ma’buud) (II/53 no. 387), dan Sunan an-
Nasa-i (IV/121).
[3]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim (I/45 no.
16 (20))], ini adalah lafazh darinya, Shahiih
al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/49 no. 8), Sunan
at-Tirmidzi (IV/119 no. 2736), Sunan an-
Nasa-i (VIII/107).
[4]. Shahiih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir
(no. 2848)], Shahiih Muslim (I/88 no. 82), ini
adalah lafazhnya, Sunan Abi Dawud (‘Aunul
Ma’buud) (XII/436 no. 4653), dan Sunan at-
Tirmidzi (IV/125 no. 2751), dan Sunan Ibni
Majah (I/342 no. 1078).
[5]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no.
884)], Sunan Ibni Majah (I/342 no. 1079),
Sunan an-Nasa-i (I/231), dan Sunan at-
Tirmidzi (IV/125 no. 2756).
[6]. Shahiih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no.
1150)], Muwaththa’ al-Imam Malik (hal. 90
no. 266), Ahmad (II/234 no. 82), Sunan Abi
Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/ 93 no. 421),
Sunan Ibni Majah (I/449 no. 1401), dan
Sunan an-Nasa-i (I/230).
[7]. Shahiih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no.
1172)], Sunan Ibni Majah (I/458 no. 1425), ini
adalah lafazhnya, Sunan at-Tirmidzi (I/258
no. 411), dan Sunan an-Nasa-i (I/232).
[8]. Shahiih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no.
3273)], dan Sunan Ibni Majah (II/1344 no.
4049).
[9]. Shahiih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir
(no. 3513), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul
Ma’buud) (XII/78 no. 4380).
[10]. Hasan: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir
(no. 5868)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul
Ma’buud) (II/162 no. 491), ini adalah
lafazhnya, Ahmad (al-Fat-hur Rabbaani)
(II/237 no. 84), dan Mustadrak al-Hakim
(I/197).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar